Pukul 06.00 pagi, masjid yang hanya bisa menampung 500 orang itu sudah dipadati jamaah. Mereka yang hadir belakangan lalu ditampung di tenda-tenda sekitar masjid. Menjelang pukul 08.00, yang tampak adalah lautan manusia berwarna putih warna kopiah dan busana sebagian besar jamaah. Tepat pukul delapan, Arifin datang dan langsung menuju panggung di depan masjid.
____________________________
Ustadz Muhammad Arifin Ilham, begitu publik mengenal ustadz muda pemimpin jamaah dzikir ini. Beliau lahir tanggal 8 Juni 1969 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Ia tidak disangka bahwa masa kecilnya seperti anak-anak kecil lainnya yang "bandel" dan tukang berkelahi. Saat terlahir beliau berbeda dengan keempat saudaranya yang lain, yang saat lahir berat mereka rata-rata 3 kilogram lebih, bayi yang satu ini beratnya 4,3 kilogram dengan panjang 50 sentimeter. “Anehnya, bayi itu sejak lahir sudah bergigi, yaitu di rahang bagian atasnya,” kenang Nurhayati Ibundanya.
Walaupun bandel, Arifin kecil berhasil lulus SD dengan baik. Nilai pendidikan agamanya biasa-biasa saja, namun nilai pengetahuan umumnya cukup bagus sehingga ia bisa masuk ke SMP Negeri I Banjarmasin, sekolah favorit di ibu kota Kalimantan Selatan itu. Tapi, bukan berarti Arifin tidak nakal lagi. Ia masih suka bermain dengan anak-anak yang lebih tua darinya, serta bermain judi.
Tahun 1982 ayah-ibunya berangkat ke Tanah Suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Di depan Kabah kedua orang tua Arifin bersimpuh di hadapan Ilahi, memohon agar Arifin diberikan petunjuk dan hidayah oleh-Nya.
Sementara itu, Arifin yang ditinggal di rumah bersama keempat saudaranya, tetap asyik bermain judi. Bekal yang ditinggalkan oleh ayahnya saat berangkat haji sudah ludes untuk membeli kelereng guna taruhan berjudi dadu. Suatu hari, ketika tengah asyik-asyiknya berjudi kelereng, Denny, salah seorang temannya bermain judi, tiba-tiba nyeletuk, “Fin, ayah lu naik haji, lu malah main judi!”
Arifin terenyak dan pikirannya mendadak menjadi tidak tenang. Saat itu juga ia langsung pamit pulang. Celetukan itu ternyata masuk ke nalar Arifin. Meski Denny seorang pemabuk dan penjudi, entah kenapa, ucapannya kali ini seakan langsung menohok kalbu Arifin. Sepanjang perjalanan, ia teringat pada kedua orang tuanya yang tengah menunaikan ibadah haji. Tiba-tiba ia dihantui perasaan bersalah yang luar biasa kepada kedua orang tuanya. Bayang-bayang kenakalannya selama ini mendadak muncul di hadapannya, membuat batinnya makin tersiksa. Semalaman ia tidak bisa tidur pulas. Setiap kali terbangun, bayangan kedua orang tuanya muncul, hingga membuatnya sangat khawatir. Tiba-tiba saja batinnya tercabik-cabik, hingga membuatnya menangis sendirian di kamar. Inilah tonggak hidayah dari Alloh menurunkan pertolongan kepadanya.
Arifin terenyak dan pikirannya mendadak menjadi tidak tenang. Saat itu juga ia langsung pamit pulang. Celetukan itu ternyata masuk ke nalar Arifin. Meski Denny seorang pemabuk dan penjudi, entah kenapa, ucapannya kali ini seakan langsung menohok kalbu Arifin. Sepanjang perjalanan, ia teringat pada kedua orang tuanya yang tengah menunaikan ibadah haji. Tiba-tiba ia dihantui perasaan bersalah yang luar biasa kepada kedua orang tuanya. Bayang-bayang kenakalannya selama ini mendadak muncul di hadapannya, membuat batinnya makin tersiksa. Semalaman ia tidak bisa tidur pulas. Setiap kali terbangun, bayangan kedua orang tuanya muncul, hingga membuatnya sangat khawatir. Tiba-tiba saja batinnya tercabik-cabik, hingga membuatnya menangis sendirian di kamar. Inilah tonggak hidayah dari Alloh menurunkan pertolongan kepadanya.
Setelah tidak lama orang tuanya tiba dari naik haji, beliau akhirnya dimasukkan ke Pesantren Al-Fallah di kilometer 24, Banjarmasin. Tapi, Arifin menolak untuk dimasukkan ke pesantren itu. “Saya ingin masuk pesantren, tapi tidak mau pakai sarung. Saya ingin masuk pesantren yang bercelana panjang dan berdasi,” kata Arifin kecil.
Akhirnya begitu menerima rapor kenaikan, ke kelas 2 SMP, Arifin bersama adiknya, Siti Hajar, diantar oleh sang ibu ke Jakarta tahun 1983. Kedua kakak-beradik itu kemudian dimasukkan ke Pesantren Darunnajah di Ulujami, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Dari pesantren inilah beliau menimba pengetahuan agama islam secara intensif sehingga menjadikannya seorang juru da'wah yang handal dan terkenal sampai dengan saat ini. Selain itu bahasa arab dan bahasa Inggris juga Ia kuasai dengan baik, sehingga pernah menjadu juara da'wah berbahasa Inggris tingkat Asean.
Sisi lain dari seorang Arifin adalah beliau juga terkenal dengan majelis dzikirnya. Ia memperkenalkan zikir berjamaah sekitar tahun 1997, jumlah jemaahnya hanya dua-tiga orang saja. Tapi, ia terus berusaha meyakinkan para jemaahnya bahwa zikir berjemaah itu sangat besar faedahnya. Dalam sebuah hadis dikatakan, “Sesungguhnya kelompok yang berzikir kepada Allah memperoleh empat perkara. Yaitu, turunnya ketenteraman pada mereka, rahmat akan menaungi mereka, para malaikat akan mengelilingi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di hadapan para makhluk yang ada di dekat-Nya.”
Sampai dengan saat ini, beliau terkenal dengan majelis dzikirnya yang tidak jarang masuk stasiun televisi. Ia didampingi Presiden Partai Keadilan Dr Hidayat Nurwahid, mantan KASAD Jenderal (Purn) Harsono, Habib Abdurahman Semith yang datang bersama belasan kyai dari Semarang, ketua Jamiatul Muslimin Indonesia Habib Husein Alhabsji, dan sejumlah ulama lainnya. Berikutnya, selama dua jam, ribuan jamaah Majelis Zikir Az-Zikra, nama yang diberikan Arifin untuk majelisnya, hanyut dan histeris dalam ritual zikir.
Begitu syahdunya acara zikir ini, tidak peduli pengusaha, artis, sutradara, dan berbagai profesi yang datang ke acara itu dari berbagai tempat di Tanah Air, meneteskan air mata. Bahkan banyak yang terisak-isak. Arifin sendiri terus menyeka air matanya yang terus menerus mengalir dengan dua saputangan yang dibawanya.
Namun, menurut ustadz yang pernah mengenyam pendidikan di Ponpes Daarul Najah (1983-1987), Ponpes Asyafi'iyah (1987-1989) dan Fisipol Unas ini, tangis bukan termasuk ritual zikir. Zikir pun, katanya, tidak juga sekadar duduk dan memanjatkan puja-puji kepada Allah SWT. ''Yang terpenting dari zikir adalah, di dalam hati harus selalu ingat dan merasakan kehadiran Allah SWT,'' jelas ayah dua anak ini. Arifin membagi zikir meliputi empat hal.
Pertama, zikir hati senantiasa mengingat Allah dalam hati. Kedua, zikir akal, yang berarti mampu menangkap bahasa Allah dalam gerak alam semesta. Ketiga, zikir lisan, yang berupa ucapan asma Allah terjemahan dari kata hati. Keempat, zikir amal yang merupakan aplikasi takwa. Sedangkan anjurannya agar para jamaah zikirnya berbusana putih-putih, Arifin mengemukakan filosofinya. Putih adalah warna yang melambangkan kesucian dan warna yang sangat disukai Rasulullah SAW.
Begitu syahdunya acara zikir ini, tidak peduli pengusaha, artis, sutradara, dan berbagai profesi yang datang ke acara itu dari berbagai tempat di Tanah Air, meneteskan air mata. Bahkan banyak yang terisak-isak. Arifin sendiri terus menyeka air matanya yang terus menerus mengalir dengan dua saputangan yang dibawanya.
Namun, menurut ustadz yang pernah mengenyam pendidikan di Ponpes Daarul Najah (1983-1987), Ponpes Asyafi'iyah (1987-1989) dan Fisipol Unas ini, tangis bukan termasuk ritual zikir. Zikir pun, katanya, tidak juga sekadar duduk dan memanjatkan puja-puji kepada Allah SWT. ''Yang terpenting dari zikir adalah, di dalam hati harus selalu ingat dan merasakan kehadiran Allah SWT,'' jelas ayah dua anak ini. Arifin membagi zikir meliputi empat hal.
Pertama, zikir hati senantiasa mengingat Allah dalam hati. Kedua, zikir akal, yang berarti mampu menangkap bahasa Allah dalam gerak alam semesta. Ketiga, zikir lisan, yang berupa ucapan asma Allah terjemahan dari kata hati. Keempat, zikir amal yang merupakan aplikasi takwa. Sedangkan anjurannya agar para jamaah zikirnya berbusana putih-putih, Arifin mengemukakan filosofinya. Putih adalah warna yang melambangkan kesucian dan warna yang sangat disukai Rasulullah SAW.
Di bawah ini beberapa rekaman ceramah beliau yang terekam dalam MP3.